Cerpen Satir

Kundar tak Lagi Doyan Mangga

Di pekan sebelumnya.

“Adakah dunia ini semuanya menjauhi aku..!?” teriak Pak Kakam menjerit-jerit nyaris histeris.

Hari itu, banyak selebaran di pelosok kampung menuliskan dia sebagai, “Kakam Goblok..!! Kakam Goblok..!! Kakam Goblok..!!”

Tak tanggung-tanggung, dari yang berbahasa barbar sampai dengan yang meminjam komentar Ustadzah TPA ujung kampung. Wuih.., banyak sekali yang menyebutnya, “Kakam Goblok..!!”

“Ini pasti tunggangan Treka, calon Kakam yang batal dilantik di pilih-pilih kakam kemarin..” sengitnya.

Kurang apa sih Kakam baru ini..?

Namanya Jenderal Kundar, badannya tegap berbahu kukuh. Keningnya kuning dengan hidung mencorong laksana jambu ranum. Pembawaannya pun berwibawa. Belum lagi kisah mentereng saat muda dahulu. Cerdas sudah tentu bukan goblok.

Sebetulnya, figur ideal seorang Kakam ada semua tanpa kurang yang terlalu signifikan.

Seorang petani duduk takzim di depan meja Kakam. “Yang kurang dari Baginda, cuma satu..” ujar Djemak, petani yang nyaris separuh abad saling mengenal dengan Kakam yang Agung itu.

Tapinya, lanjutan kalimat hanya mengambang yang berakhir dengan timpal gelegak tawa renyah si Kundar.

“Cuma satu.., yaitu....” menggantung lagi ucapan Djemak.

Alah.., sudahlah.., siapa sih yang tak punya kelemahan. Hidup tanpa tantangan membuat kehidupan datar dan pengharapan jadi tumpul. Kerjapun jadi semau hati,” ulas bijak Kakam sambil ditepuk-tepuknya gengam telapak Djemak dan tersenyum lebar.

“Bagus.., bagus..!! Kalau yang ini jelaslah kelebihan Baginda Kundar. Masih mampu tersenyum saat hidup sedemikian pelik, walau derita dan serangan terus menerpa.”

Aih, aih.., jangankan masalah Kampung, masalah dunia saja dulu mampu aku urai. Begini saja kok keder..? Apa pula kata dunia,” tukasnya percaya diri menerawang saat mudanya dan perkasa menjadi punggawa kerajaan. Menggiring kuda, menenteng gada, mengguncangkan Raja sendiri.

“Ayo kita berjalan sejenak,” ajak Kundar.

Ternyata jalannya menjadi kunjungan Kundar ke tempat Djemak doyan bersemedi. Sebuah tempat di pinggiran kampung yang sulit dibilang mewah. Rupanya, hanya sebuah pohon Mangga.

Aih, aih, kurus sekali pohon Mangga ini,” celetuk Kundar takzim.

“Tidaklah apa-apa Baginda. Tapi Mangganya cukup mengenyangkan kami sekeluarga setiap hari,” Djemak menukas tak kalah takzim.

Diskusi panjang di bawah pohon Mangga memang menyenangkan juga.

“Boleh juga lah.., ketimbang di Pohon Labu seberang jalan. Di sana Treka doyan mengupas labu dan merebusnya untuk dijadikan kolak. Aku tak akan makan labu lagi. Tapi.., mungkin nanti-nanti aku akan beli labu lagi, tapi nanti saja lah..,” Kundar berdiang di bawah pohon Mangga.

Mangga dikupas sedemikian cantik. Potong nenas, potong lurus. Mangga memang enak. “Sangat enak.., sepet sekali-sekali tapi pasti mangga inilah yang paling enak..!!”

Jadilah, Kundar sangat doyan mangga. Setiap hari minta diantar 100 mangga jadi agendanya.

Kundar merenung sejenak. Hidup memang menyenangkan. Atau tidak menyenangkan?

Alah.., sama saja. Yang penting masih hidup,” celetuknya ringan.

“Ha ha ha..,” semua ganda tertawa.

***

Sepekan yang sangat pelik. Membangun benteng dengan menumpuk satu demi satu batu, menggandeng sekondan yang patut dan dibutuhkan, melawan segala tantangan dengan bahu semakin kukuh, kening semakin kuning dan hidung merona semakin bertambah mengkilat seperti jambu ranum.

“Aku bekerja keras 32 jam sehari tujuannya cuma satu. Hidup hanya sekali, kejayaan adalah kilat yang tak habis dilekang jaman. Semua aku pertaruhkan. Tangan ini untuk kampung, kaki ini untuk kampung, kepala ini untuk kampung. Boleh tanya ke seluruh dunia. Kerabatku berbisnis jauh di kampung seberang. Menanam jagung bukan menggali tanah di sini. Bukan untuk apa-apa. Biar tak ada curiga. Biar tak ada dusta di antara kita..!!”

Tak lupa diselipkan pemotivasi diri. “Kalau kamu-kamu tidak percaya. Aku akan iris sebelah telinga kalau nanti Aku berdusta..!!”

Hulubalang dan Patih si Kundar dengan gesit membagi-bagi mangga.

“Mangga yang paling enak..!!”

Gemuruh keplok-tangan menggema. Pendopo kampung di sebelah ujung TPA dan musholla menjadi perlambang keindahan sebuah retorika.

“Kalau untuk pidato dia jagonya..” bisik Landus, seorang warga yang cukup istimewa boleh duduk di dalam pendopo.

“Kamu saja yang tak punya mata..!! Sebegitu tulus ungkap-hatinya, sebegitu gigih determinasinya, lihat kampung kita hari ini..!!” sergah Jamri, warga lain yang dikenal doyan duduk-duduk ngopi di beranda rumah Pak Kakam.

“Iya kah..? Nampaknya aku harus merubah isi dan pendapat pribadi. Kita berjuang semata untuk kemajuan yang sama kan. Beda belahan rambut dan kelimis safari bukan penghalang. Jangan sampai kita dijebak situasi yang tidak perlu ini dan kita tak akan pernah bisa maju. Aku sadar sekarang..!!” loncat Masdan yang kemarin kebanyakan tidur dan latah ikut-ikutan menempel selebaran “Kakam Goblok..!!”.

Treka yang sedang ngaso di balai-balai rumahnya hanya tersenyum simpul.

“Sudahlah.., sudahlah..!!” demikian Treka.

Bisikan halus mengalir di telinganya dan Treka tiba-tiba bangkit berdiri tegak.

“Sudahlah.., sudahlah..!!” sembari mengerling genit pada Kundar.

Kundar nampak menjaga wibawa. Angguk ringan diayun dan dia semakin riuh melontarkan buih pidato yang bertambah terus semakin indah.

Imbas pidato yang dilakukan sepenuh raga itu mengagumkan. Bicara berbuih dengan leher tegang dan urat kening mengeras. Kucur peluh halus membasahi kening kuning dan kilau bahu yang kukuh memang manampakkan bahwa dia adalah pemimpin yang mumpuni.

Satu-satu warga takzim berdiri. Berkeliling membawa upeti. Kening direkatkan ke punggung tangan Si Kundar, berjajar menunjukkan hormat.

“Kami semua percaya..!!”

Akhirnya, episode pekan itu berakhir menyenangkan. Dunia berbunga, hidup merona dan Si Kundar semakin gemuk bercahaya. Gembil pipi semakin mendadu dan tangannya berkilat melontarkan gemintang Raja Midas.

“Kita adalah emas. Semua adalah emas. Dan yang pasti, aku adalah emas..!!”

Waktu adalah raja sesungguhnya. Tuhan menciptakan waktu untuk menjamin perputaran dan kenyataan. Tak ada yang bisa berbohong pada Sang Waktu. Diam sejenak, tertinggal, berpikir merasa cepat, tahu-tahu waktu sudah berjalan.

Kampung sedikit berbinar. Sayangnya sedikit berbinar mencerminkan kekurangan waktu. Patih dan Hulubalang-hulubalang boleh datang silih-berganti. Kurang mantap Si Tambi, diganti Si Bulai. Kurang sip Si Pustu boleh juga diganti Si Wasra.

Si Kundar doyan sekali keliling kampung. Kadang malah sampai mencarter delman supaya bisa meluaskan wawasan sampai ke kampung jauh. Kalau dirasa kurang besar. Dipinjamnya Delman Raja milik tauke tetangga.

“Bayar sedikit mahal pun tidak apa-apa. Yang penting tujuannya mulia,” katanya.

***

Bahkan, Treka pun berjalan seperti angin lalu. Berhembus menyejukkan walau memang kadang-kadang meletupkan buih sedikit.

Maklumlah, soal berbuih panas Treka memang jagonya. Tak kalah jago dengan Si Kundar yang selalu mantap berkening kuning.

Tapi Treka bukan anak kemarin sore. Waktu kemarin sore pun dia sudah perkasa. Dia mentereng, bapak mentereng. Permaisuri anggun berjejer dan anak tampan yang tak banyak bicara tapi tiba-tiba sudah ada di ujung kampung sebelah ufuk menjalin kasih merenda posisi.

Diam-diam Treka semakin menguat dan mencoba merapat.

Kiay Djemak, aku mau beli mangga,” demikian Treka.

“Bayaranmu kurang..!!!”

“Kurang apa..?”

“Kurang ajar..!!!”

Aih Kakang Djemak kok begitu..?”

“Kamu kurang ajar..!! Kurang ajar..!! Kurang ajar..!!”

***

Si Kundar semakin menjadi figur ideal. Badannya semakin tegap berbahu bertambah kukuh. Keningnya mengkilat kuning dengan hidung mencorong indah laksana jambu ranum. Pembawaannya pun menegaskan bahwa Si Kundar berwibawa

Tak pelak, siapa lagi yang paling pantas jadi kakam berikutnya kecuali si Kundar.

“Katanya aku yang paling pantas yah..?” tanya Kundar dalam diskusi ringan berteman kopi-singkong di beranda rumahnya.

Di sekelilingnya sekarang tak lagi hanya si Djemak dan Jamri. Tapi Landus, Masdan dan sesiapa yang dulu doyan mencuci kaki di bilik milik Treka. Dunia menjadi seragam. Indah nian dan menyenangkan.

Semua mengangguk-angguk yakin. Meyakinkah hati meyakinkan diri. Tak ada kata lain yang dilontarkan. Selisip pijat di ujung telunjuk Kundar membuat keyakinan semakin menggunung.

“Aku adalah emas dan kita adalah emas, semua adalah emas..!!”

Lha.., sekarang kok yang duluan emas malah si-Aku-nya..?”

“Ha ha ha.., ha ha ha.., pokoknya jadi emas, emas, emas..!!”

Si Kundar mantap tegak berdiri. Djemak duduk terus susut di belakang. Saat Kundar merepih kemenangan dan berkedip, Djemak pulang ke pohon Mangga.

****

Di pekan ini.

Patih dan hulubalang-hulubalang Si Kundar adalah kuli gajian. Gengsi dicapai lewat posisi. Jangan sampai posisi rusak, jangan sampai debu di kolong karpet terlihat mata Si Kundar apalagi terinjak.

“Ini debu siapa..!!?” marah Kundar saat mengetahui karpet di kantornya jadi sarang debu.

Belum usai gemanya berbicara keras. Seorang anak kecil berlari kencang dan menarik keras-keras karpet kantor.

“Hahh..!! Tak hanya debu tapi banyak kecoak dan tikus..!!” jerit Si Balu, anak yang enggan bertanya-tanya dulu sebelum menarik karpet kantor nan megah itu.

“Ini tikus siapa..!!? Ini kecoak siapa..!!?” Kundar histeris.

Hulubalang dan Patih terlonjak dari kursi dan berteriak dengan perut dikempis dan dada dibusung.

“Yang salah si anak kecil tadi Baginda Kundar..!! Ayo kita jewer saja kupingnya..!! Kalau dia tidak tarik-tarik karpet, tak ada yang tahu kita punya tikus dan kecoak-kecoak,” teriak Hulubalang dan Patih seragam.

Si Balu melesat melenggang pergi.

Kundar tiba-tiba bangkit dan mengambil cemeti. Dikejarnya si Balu yang ternyata asyik duduk di bawah pohon Mangga tempatnya berdiskusi dulu dengan Djemak.

“Oho.., kamu di sini yah. Kamu tidak tahu siapa aku. Kamu anak goblok.., anak goblok.., anak goblok..!!”

“Aku cuma satu goblok Baginda. Bukan tiga goblok..!!” kerenyit bocah Balu sambil terus memegang sisa ujung karpet yang tadi ditariknya.

“Pokoknya kamu goblok..!!”

“Tapi 100 mangga bukan tiga ratus, goblok..!!”

Geletar cemeti diayunkan dan teriaknya keras-keras. “Kamu goblok..!!”

Sang Patih berdiri takzim di sebelah Kundar dan berkata, “Kita tidak usah makan Mangga lagi Baginda. Labu lebih enak. Bahkan, jeruk di seberang jalan satunya sekarang ada macam-macam. Ada jeruk madu, ada jeruk matahari. Ada jeruk manis ada jeruk sepat yang tak kalah enak..!!”

“Kundar tak makan mangga lagi..!!!” teriak Patih dan hulubalang.

Kundar pun ikut mengangguk.

Lagian.., pohon Mangganya memang kurus kok.. Kita tunggu tanggal matinya saja..!!” analisis Hulubalang di seling seringai licik dan Si Kundar terus mengangguk-angguk.

Hari ini, Djemak mendadak berkedip dalam semedinya dan berkata, “Aih, aih.. Kekurangan Si Kundar, yah memang yang satu itu..!!” menghela nafas dan kembali bersemedi. (**)

(Bandarlampung, 14 Juli 2007)