Simpati buat Bang Aca

Konspirasi Bodoh nan Keji

Dua hari silam di Rapat Paripurna yang dihadiri 46 anggota DPRD Lampung, lewat voting, menelurkan nama Oyos Saroso dan Edi Rifai menjadi Tim Seleksi Anggota KPUD Lampung.

Dari bisik-bisik teman-teman wartawan yang mangkal di Dewan, hasilan ini menunjukkan ‘kemenangan’ dari Golkar dan PKS. Golkar yang membesut Edi Rifai dalam kategori Akademisi dan PKS yang mengusung Oyos Saroso. Cacah vote-nya pun mantap, Edi meraup 27 suara, Oyos mendulang 28 mata pilih.

Ada pemenang pastinya ada pecundang. Calon-calon besutan PDIP, PKB dan PPP mengekor di belakang mereka. Nama Ari Darmastuti dan Armen Yasir hanya mampu mendulang 19 dan 17 suara saja.

Galib memang dalam proses pilih-pilih ada yang kalah dan ada yang memenang.

Tapi dalam rilis berita kemarin, Hi Ardiansyah SH sontak menunjukkan ke-mangkel-annya. Bos besar di Radar Lampung Grup itu memang namanya sempat diusung oleh PAN dan Demokrat. Tapi lacur, namanya cuma numpang dinampangkan saja tanpa ada sebiji suara pun yang menyebut namanya.

Naif memang jika membandingkan nama Oyos Saroso dengan Ardiansyah. Tapi faktanya memang Oyos dan Bang Aca – sapaan dia, sama-sama ditarungkan di klasifikasi Praktisi dan Oyos yang punya 28 pemilih dan Ardiansyah cuma dapat nol sahaja.

Secara kapabilitas dan integritas pun konyol jika dibanding-bandingkan saat ini dalam konteks menyeleksi anggota KPUD itu. Tapi kegeraman Ardiansyah yang namanya cuma dijadikan pemboros tinta berlembar-lembar administrasi juga perlu dimenungkan.

Waktu pertama namanya disebut-sebut di koran, saya belum langsung nge-tune untuk memahami bahwa itu namanya Bang Aca. Maklum, nama Ardiansyah boleh jadi tak hanya milik Direkturnya Radar Grup itu seorang.

Dan sepanjang pengakraban saya dengan beliau, Ardiansyah bukan seorang yang cukup bodoh untuk bermanuver konyol macam begitu untuk sekedar mencari popularitas atau jabatan publik.

Lain dari itu, sebelumnya sama sekali tak ada ‘situasi pra-kondisi’ baik di berita-berita koran-koran Radar Grup atau cawi-cawi dari Ardiansyah soal wacana dia mau atau berkeinginan masuk dalam bursa Tim Penyeleksi KPUD.

Mungkin memang PAN dan Demokrat sempat menelepon atau sekedar sounding dengan dia, tapi – tegas-tegas menurut Ardiansyah – inisiatif berasal dari parpol. Ketua DPW PAN, Abdullah Fadri Auly, malah sempat ngeles dengan menyebut-nyebut Ardiansyah sedang berangkat ke Tanah Suci sebagai pardon untuk kejadian konyol itu.

Rekan saya yang mangkal di DPRD malah menyebut bahwa lobi-lobi dilakukan selayak ABG yang sedang main curang di THB. Kopelan-kopelan kertas kepek-an dibagikan dengan teraan nama yang kudu dipilih.

Dalam kondisi seperti itu, seorang Ardiansyah yang mungkin sebelumnya sedang asyik duduk-duduk mencecap teh manis bareng kudapan di ruangannya di lantas teratas Graha Pena itu ­tau-tau tertohok keras karena – mungkin – beberapa orang ada yang menganggapnya sebagai figur ambisius yang tak punya kuku.

“Saya ini tau ada Seleksi Tim Penyeleksi KPUD saja baru waktu ditelepon Aab. Ini sangat terasa sebagai upaya pembusukan dan dilakukan oleh politisi-politisi yang tak paham etika dan moralitas,” cetusnya kepada penulis.

Bang Aca boleh jadi sangat nyeri hati. Mastermind ke-hegemoni-an Radar di Lampung itu merasa seperti kacang murahan karena di-kacangin begundal-begundal politik yang mempergunakan kementerengan reputasi seorang Bos Koran buat jadi pengatrol suhu Rapat Paripurna. Pengacak-acak konstelasi, tulisnya dalam sebuah tulisan penuh kenyerian hati di salah satu koran besutannya.

Aktor-aktor panggung politik dalam babak drama Seleksi Penyeleksi KPUD itu boleh jadi memang aktor-aktor politik reguler dan kawakan di gedung milik rakyat itu. Ardiansyah memang punya segala hak untuk mangkel. Lha wong lagi didapuk KPUD Tanggamus untuk jadi panelis debat antar-kandidat balonbup-balonwabup Tanggamus malah namanya jauh-jauh ‘dilempar ke Tanah Suci’ dan 12 orang dalam 2 fraksi menjadi sebuah contoh bahwa setiap keputusan politik adalah hasil lobi-lobi yang konspiratif dan terkadang sangat keji. (*)