Belajar dari Mbah Maridjan dan Warga Kinahrejo


Tersebutlah sebuah kampung asri nan sejuk di penghujung lajur Jalan Kaliurang, Jogja jika anda terus menuju ke utara, menuju pucuk Hargo Merapi. Dusun itu namanya Kinahrejo. Alkisah, diberi nama Kinahrejo karena dahulu saat babat-alas membuka hutan yang menjadi cikal-bakal dusun tersebut, kawasan itu banyak bertebar Pohon Kina, pohon yang kulitnya dalam dunia medis modern kemudian diolah menjadi Pil Kina, pil ampuh penangkal malaria. Kinah menjadi salah satu bagian penting dalam perikehidupan Kinahrejo selain karena penghormaan terhadap sejarah, juga karena difungsikan dalam berbagai aspek kehidupan seperti untuk obat, pupuk serta tentu saja rindang dan kayunya.

Bagi para pendaki gunung, lereng selatan Merapi adalah jalur yang sangat memesona. Selain karena jalur pendakian yang masih terjaga keasrian ekologisnya, juga karena variasi perjalanannya yang menggetarkan hati. Jejak terakhir untuk menuju Puncak Garuda, sebuah batu yang dalam perspektif imajinatif kuat membentuk garuda mengembang sayap, adalah sebuah jalur kawah berapi aktif yang seolah membentuk gerbang, Gerbang Setan. Bebatuan belerang hijau kekuningan dengan aroma khas seperti gas perut manusia itu harus dilewati dengan mempergunakan alat bantu pernafasan. Pendaki biasanya menggunakan kacu segitiga yang dibalur kopi dan mengenakan kacamata renang.

Di sini lah kemudian sosok Mbah Maridjan kemudian menjadi sangat populer dan melegenda di kalangan penggiat alam bebas dan peneliti. Merapi memiliki reputasi sebagai gunung api paling aktif sedunia. Silakan ketik, ”the most active volcano in the whole world” di portal pencari maka Hargo Merapi pasti akan mucuk dan terdeteksi di jutaan portal dunia maya. Jadi kalau ada yang membayangkan Mbah Maridjan sebagai seorang yang kuper, klenik-mania dan orang kampung naif karena tak makan bangku sekolahan, maka bayangan itu akan buyar seketika ketika bertemu langsung dengan kuncen Hargo Merapi yang kondang jadi aikon iklan obat kuat laki-laki itu.

Semenjak ratusan tahun silam, yang datang ke Merapi adalah para peneliti dari sepenjuru dunia, mahasiswa berbagai kampus dan semenjak popularitas Simbah melejit layaknya selebriti, yang datang makin banyak lagi. Tak perlu lah disangkal-sangkal bahkan beberapa tokoh politik ada yang bersenyum-senyum manis dan mengenggam tangannya yang berjempol bengkok itu untuk cari dukungan bahkan minta papak-rajah yang irasional. Tapi Mbah Maridjan tetap Mbah Maridjan, juru kunci Merapi tunjukan Keraton Kesultanan Ngayogjakarta Hadiningrat dengan gaji beberapa picis tak seberapa dari Sultannya, hidup tetap berladang-ternak dan mengesampingkan uang kontrak iklan yang digembar-gembor jumlahnya berjuta-juta banyaknya.

Mengapa kita perlu belajar dari Mbah Maridjan dan warga Kinahrejo, orang-orang yang bagi beberapa orang lain adalah masyarakat bebal dan tak paham instruksi BMKG karena ndableg tak mau turun walau gunung api itu sedang mau dan akhirnya meletus? Mungkin kita semua lupa bahwa mereka adalah warga Merapi asli yang turun-temurun bertinggal, berinteraksi dan bersama Merapi membangun tata-kehidupan sosial yang harmoni.

Kalau mau sebetulnya mereka kan bisa saja tengil dan bilang, ”Gunung kami yah gimana kami.” Tata-kehidupan yang teruji puluhan bahkan ratusan tahun yang bisa membawa warga Kinah sedusun gemah-ripah loh jinawi rukun-makmur damai sentosa itu. Punya hak apa warga modern yang karena telah merasa mengenyam bangku sekolah sepuluh dua puluh tahun menganggap akumulasi tata-sosial itu sebagai bangsa kampung yang harus dibasmi dan diganti jadi priyayi modern hasil belajar dari luar negeri?

Silakan mendaki gunung di seantero Jawa. Bandingkan bagaimana tata-masyarakat, kehidupan sosial dan cara masyarakat berinteraksi dengan alam di gunung-gunung dan kawasan yang lain, maka kita akan ketemukan bahwa lereng selatan Merapi adalah kawasan yang istimewa. Di jalur pendakian akan anda ketemukan jejak-jejak peradaban Jawa antik yang masih dipraktikkan hingga hari ini. Geger boyo, plawangan, Srimanganti, Paseban Labuhan Dalem dan monumen peluru kendali, kendhil dan batas vegetasi akan anda ketemukan dalam kondisi apik terjaga. Jalur berumput yang sama dengan yang dilewati rombongan Sultan dan warganya untuk bertirakat dan berdoa bergabung harmoni dengan kepentingan rekreatif anak-anak muda dan sisi ilmiah akademisi yang terpesona oleh gelegar dan gantengnya gunung bertinggi 2911 mdpl tersebut.

Satu hal yang nanti kita akan lihat sendiri. Warga Kinah dan warga dusun-dusun lain adalah warga yang dewasa dan tak kalah cerdas dengan peradaban modern manapun. Selain karena memang bergaul dengan kaum intelektualitas sepenjuru dunia, mereka benar-benar menghormati Merapi karena merasa menjadi bagian tak terpisahkan dari simbolisasi sumbu imajiner kerajaan mistik yang tentunya tak mungkin dipahami oleh manusia-manusia yang sedari kecil dicekoki bahwa yang benar dan mutlak benar di alam dunia ini adalah materialisme dan antroposentrisme akut. Yang tak percaya dan ikut dengan paham antroposentris itu adalah kaum barbar dan goblok. Kaum yang ketika bertinggal di pinggir kali dan terkena banjir akan marah-marah karena gubernurnya tak memberi bantuan untuk makan, tidur dan bangun rumah baru, di pinggir sungai yang sama bahkan kalau perlu melipir lebih ke sungainya lagi karena kalau banjir jadi punya hak untuk minta duit lagi.

Warga Kinah, Turgo, Mbebeng, Kalitengah, Kaliurang dan penduduk asli lereng Merapi bahkan dengan sukacita menyatakan bahwa njebluk-nya Merapi adalah berkah Sang Gusti yang membuat sawah mereka musim tanam depan semakin hijau-emas berbulir gendut, sapi-sapi jadi tambun dan bersusu berjerigen-jerigen serta aroma kampung akan bertambah wangi-bening sejuk merasuk hingga ke ujung rongga paru terdalam sekalipun. Besok setelah Merapi tenang kembali, mereka semua akan kembali ke rumah, sawah, ladang dan hutannya beraktivitas seperti biasa tanpa perlu merengek ke presidennya untuk curhat colongan bahwa mereka sedang menderita kena bencana.

Seperti Mbah Maridjan yang pagi sebelum kejadian erupsi besar yang meluluhlantakkan Kinahrejo, berladang dan menyiangi sawah serta merumput untuk pakan sapi-sapinya, begitulah pola pikir semua warga Kinah dan Mbah Maridjan tentang perputaran alam dan kecintaan mereka terhadap Merapi yang dalam perspektif dan kepercayaan kuatnya bahwa saat ini sedang ada ’pekerjaan dan pembagunan’ di kerajaan gaib Hargo Merapi. Sak dumuk bathuk sanyari bumi dan kalau kata anak-anak gaul jaman sekarang, ”Gunung gunung gua yah gimana gua.”. Selamat jalan Mbah Maridjan, yakinlah bahwa banyak yang percaya bahwa kepulangan Mbah Maridjan dilakukan simbah dengan penuh kebahagiaan bahkan amat-sangat elegan. Itulah mengapa kita semua perlu belajar darinya dan mereka semua. (**)