VIDEO argahaya belajar bicara


argahaya belajar mempergunakan suaranya untuk berkomunikasi dengan dunia luas..

arga-nia indrajaya

foto isteri dan anakku

Untuk 100 Tokoh HUT Lampost

Hey Lampost, Sejarah Memang tak akan Pernah Linier

Bagaimana memaknai hari ulang tahun? Menurut saya, hari yang bersejarah macam ulang tahun sejatinya harus dimaknai dengan penuh makna. Makna apa yang dimaknai? Ini yang kemudian boleh saja berbeda antara satu pengulang-tahun dengan pengulang-tahun yang lain. Lampost nampaknya memilih untuk memaknai ulang tahunnya dengan merilis buku bertajuk, “100 Tokoh Terkemuka Lampung.”

Lampost memang koran harian paling tua di Lampung. 10 Agustus 2008 kemarin sudah 34 tahun Lampost eksis. Tak pantas mendebat hal yang kuantitatif semacam 34 tahun itu. Konsekuensinya, sudah 34 tahun Lampost menorehkan warna dalam babak peradaban Lampung dan pastinya sudah banyak kontribusi yang diberikan Lampost atau apapun/siapapun yang menggunakan wahana ‘ke-Lampost-an’ atau paling tidak ber-sirempet dengan Lampost. Pokoknya Lampost sudah berkontribusi.

Dan Lampost memilih merayakan HUT-nya dengan menulis buku. Sebuah pilihan yang (terasa sangat) sederhana, tak neko-neko. Dan memang sangat-sangat pantas (kerabat kerja) Lampost menulis.

Dalam aktivitas kewartawanan, menulis adalah main event-nya. Lampost memilih melakukan sesuatu yang paling dikuasai kru-nya yakni; MENULIS..!! Walau kemudian masih dibumbui dengan segala keindahan istilah seperti pendokumentasian sejarah, merekam jejak dan segala macam istilah keren lain, tapi yang pasti, Lampost memilih untuk menulis.

Kita semua mafhum, siapapun yang ingin abadi dan tak pernah mati, maka menulis adalah hal yang harus dilakukan. Kalau kita tidak menulis, maka kita dikategorisasikan sebagai ‘Pra-sejarah’. Maka dilupakan adalah sebuah keniscayaan.

Menulis membuat kita punya peluang untuk masuk dalam ‘Sejarah’. Menciptakan momen yang ‘bersejarah’ dan yang paling mentereng tentu dianggap sebagai ‘Pelaku Sejarah’. Dan wartawan adalah seorang penulis. Jangan pernah mencoba mengaku sebagai wartawan kalau tak becus apalagi tak pernah menulis.

“Kami akui, ide penyusunan buku ini terinspirasi oleh bukunya Michael Hart yang fenomenal dan kontroversial itu,” ujar Heri Wardoyo, Ketua Tim Penulis Buku. Walau kemudian Sabam Sinaga, Wapemred Lampost, menegaskan bahwa buku ini (sebisa mungkin) hanya memaktubkan nilai-nilai protagonis saja alih-alih mengail kontroversi dengan mengulik sisi-sisi antagonis tokohnya. Simpelnya, buku Lampost ingin memberi kontribusi positif (dalam penyikapan) ketimbang ‘cari ribut’.

Kenapa pula harus ribut dan kontroversial? Rupanya memang sudah dari sono-nya, lebih mudah menuding dan meributkan ketimbang menolong dan ikut membangun. Toh, credit point dan yang hebat-hebat akan menjadi milik Lampost. Tapi Kholid Lubis, Ketua Panitia HUT, menyatakan buku ini berisi, “Tokohnya Lampung, bukan tokohnya Lampost.”

Kontroversial? Why not. Hal yang paling fitrah sekalipun pastinya masih bisa dikontroversialkan karena kita masih manusia yang punya daya pikir. “Jika dua manusia yang bisa berpikir berdiskusi mengenai satu hal, maka sedikit-dikitnya bakal ada tiga pendapat,” ujar-ujarnya.

Pasal 100 tokohnya Lampost kok belum sreg misalnya, hayo berkontroversi, berdebat dan berbeda pendapat. Kenapa misalnya Arzeti Biblina dianggap ‘Tokoh’, tapi Chelsea Olivia dianggap belum pantas ditokohkan. Kenapa pulak Aburizal Bakrie bisa masuk buku, sementara Syamsul Nursalim atawa Artalyta Suryani kok masuk dalam daftar coret. Berdebatlah dengan sepenuh hati, dengan sepenuh jiwa dan protes keras jika Anda merasa ‘Tokoh’ tapi kok Lampost alpa memasukkan nama Anda. Tak ada yang salah dengan kontroversi kan.

Jika bercermin dengan bukunya Hart, maka kontroversi adalah judul pembuka dan pencipta buku itu menjadi fenomenal. Kenapa Rasulullah SAW diletakkan di pemuncak, sementara Yesus malah ada di nomor tiga. Kontroversial kan, tapi buku tersebut sekarang jadi buku yang sangat mengayakan wawasan untuk dibaca-baca. Bahkan kerap pula dijadikan rujukan.

Begitu juga dengan 100 tokohnya Lampost. Lepas dari segala kontroversi yang (ngakunya) coba dihindari tapi pasti selalu ada kontroversi, buku tersebut nampaknya akan cukup dapat sedikit mengenyangkan dahaga atas buku bacaan tentang Lampung yang memang masih sangat-sangat sedikit saat ini.

Jika misalnya ada yang tidak puas dan kemudian menulis buku 100 tokoh versi tandingan, bukanlah sebuah hal yang haram. Sah-sah saja lah.
Nampaknya paling pas menutup tulisan ini dengan mengutip kata-katanya Heri Wardoyo, “(Tulisan) Sejarah memang tak akan pernah linier.” Karena kalau tulisan tersebut benar-benar linier, bisa langsung dipastikan bahwa itu fiksi bahkan bohong.

Ada yang mau menandingi Lampost? Untuk pasal itu, Lampost yang harus siap-siap. Pengalaman kenyang 34 tahun eksis adalah modal yang sangat berharga untuk terus menjadi pelaku sejarah. Selamat HUT ke-34 untuk Lampost.

*) tulisan ini dimuat di Harian LAMPUNG EKSPRES plus edisi 20 Agustus 2008

Analisis Pilgub Lampung 2008

Oedin-Alzier-Zulkifli Paling Berpeluang

Pagi ini, 3 September 2008, patut ditancapkan sebagai tonggak sejarah tata-pemerintahan di Lampung. Inilah kali pertama pilkada digelar secara langsung di Lampung.

Tujuh pasang sekaligus yang berpartisipasi, lima dari parpol dan dua dari mekanisme perseorangan non-parpol. Zulkifli Anwar-Akhmadi Sumaryanto (PKS, PAN), Muhajir Utomo-Andi Arief (Perseorangan), Alzier Thabranie-Bambang Sudibyo (Golkar, PKB, PPP), Oemarsono-Thomas Riska (koalisi parpol non-parlemen), Andy Achmad-Suparjo (Demokrat, PBR), Sjachroedin ZP-Joko Umar Said (PDIP) dan Sofjan Jacoeb-Bambang Waluyo Utomo (Perseorangan).

***

Rumus utama menghitung dukungan pilkada adalah figur kepala daerahnya. Figur wakil memang harus diakui bukan yang terutama karena biasanya diletakkan sebagai penegas status, penyandang penambah dana kampanye, tim kerja yang mampu mengimbangi dan mengoptimalisasi posisi kepala dan yang terutama sebagai penambal suara supaya tak rembes. Awak karo sikil katanya. ‘Kasus’ Dede Yusuf di Jawa Barat dan Rano Karno di Tangerang boleh jadi tak berimbas ke Lampung karena tak ada figur wakil yang sebegitu kuat popularitasnya jika dinadingkan aktor-aktor kawakan yang masuk ke domain politik itu.

Untuk calon kepala daerah, ketujuh kandidat punya reputasi mentereng. Praktis hanya Sofjan Jacoeb dan Muhajir yang sama sekali tak punya pengalaman matang di pentas politik praktis dan tata pemerintahan. Oedin, Andy, Oemarsono dan Zulkifli keempatnya sudah tahu persis rasanya menjadi kepala daerah. Alzier cukup istimewa karena sempat pula memenangkan kursi kepala daerah.

Meminjam istilah tinju, bicara ‘ring record’ ada beberapa calon yang sudah pernah bertarung satu ring. Alzier saat Pilgub 2002 menghempaskan Oemarsono dan Oedin pun sempat ikut di putaran penyisihan. Oedin pernah ‘satu lawan satu’ dengan Oemarsono di 2004 yang menghantarkannya ke kursi BE-1, sementara Zulkifli pernah merasakan bertarung melawan Alzier di Pilbup Lamsel 2000. Boleh juga ring record itu dijadikan alas analisis sehingga nama Oedin, Alzier dan Zulkfli ada di unggulan atas. Oemarsono harus mengalah dalam kategori ini karena setiap pertemuan ‘satu lawan satu’ mantan Gubernur Lampung yang menggembol 14 gelar adat Lampung itu pernah mengemas kekalahan baik lawan Alzier pun Oedin.

Muhajir dan Sofjan pun bukan tokoh sembarangan. Muhajir adalah Rektor Universitas Lampung dua periode dan satu-satunya kandidat yang bergelar akademis mulus tak bercacat hingga jenjang tertinggi seorang manusia menyandang gelar akademis. Sofjan pun begitu. Menjadi Kapolda di kawasan paling prestisius se-Indonesia, Polda Metro Jaya, tentu tegas menunjukkan bahwa jenderal polisi yang piawai bermacam bahasa ini bukan tokoh karbitan. Tapi, sulit untuk menakar peluangnya mulus karena keduanya tak tampak begitu berhasil mengeksploitasi isu perseorangannya di tengah degradasi popularitas parpol yang terus memburuk itu.

Kanjeng adalah calon yang paling terjal menerjang aral. Sedari pencalonannya yang digoreng kiri-kanan, sedetik usai mantan wabupnya dilantik menjadi pengganti, Andy malah dicecar masalah yang sebetulnya jauh di luar konteks domain politik dan pemerintahan, tetapi mau-tidak mau membuat dinamika riuh tersendiri di internal pendukungnya. Kanjeng yang terkenal sedemikian intim dengan komunitas Bali di Lampung, ditohok telak lewat sentimen etnisitas tersebut.

Beberapa lembaga survey memang meletakkan nama Oedin, Alzier, Zulkifli dan Andy yang memiliki peluang besar. Tapi – meminjam celetukan Ketua KPU Gultom – setiap riset dan survey yang dilakukan memiliki kecenderungan bernuansa pesanan yang kental. Tak sulit memang menakar independensi lembaga riset jika masyarakat memahami ‘oknum-oknum’ yang berada di balik layar lembaga riset dimaksud. Tak salah jika muncul anggapan bahwa lembaga survey yang beredar tak lebih dari kepanjangan tangan tim sukses yang menyaru menjadi (sok) independen.

Rumus kedua yang biasa dijadikan alas-analisis adalah faktor incumbent. Ada tiga incumbent yang beredar, Oedin di Lampung, Zulkifli di Lamsel dan Andy di Lamteng. Tapi nampaknya faktor yang satu ini juga agak buram. Proses transisi yang tak mulus untuk kursi Oedin membuat ‘mesin incumbent’ jadi agak separuh jengah untuk digunakan. Kita pasti paham mentalitas birokat kita yang sebegitu mendewakan eselonnya dan tentu aturan tegas soal netralitas PNS. Tapi faktor itu masih ada nilai pentingnya, karena di lingkaran birokrat pun nilai-nilai ‘keparpolan’ pun nyata adanya dimana jabatan sangat bergantung atas kemampuan seorang birokrat mempertunjukan potensi, kualitas dan terutama loyalitas kepada (calon) pemimpinnya. Ungkapan satir bahwa birokrat adalah ‘salah satu parpol pengusung’ pun bisa diperdebatkan untuk ditelisik kenyataannya.

Rumus berikutnya adalah kemampuan untuk menggandeng vote getter. Dua mantan Presiden RI sudah nyata-nyata turun ke lapangan untuk mendukung jagoannya. Gus Dur memilih untuk berkampanye atas nama Alzier sementara Megawati tampak pede untuk mengawal kemenangan Oedin. Di lain kubu, Tifatul dan Sutrisno Bachir eksplisit menjatuhkan dukungan kepada Zulkifli yang kemudian digongi dengan munculnya Hidayat Nurwahid yan juga lantang berkampanye.

Kalau boleh dipetakan, Mega dengan PDIP, nasionalis, marhaenis dan wong cilik-nya mendukung Oedin, Gus Dur dengan PKB, NU, kyai, santri dan kaum abangan tradisional berkampanye untuk Alzier, sementara Nurwahid yang sampai hari ini masih bercitra sebagai Presiden PKS berkampanye untuk nama Zulkifli. Serta tak lupa ada satu fenomena yang patut dicatat dengan masifnya gerakan yang digalang Imelda Alzier lewat bendera Sekarsewu yang tak lelah keliling ke pelosok kampung menggalang amal dan (yang terpenting) tak pernah terlepas dari ekspos dan publikasi yang lihai.

Rumus terakhir tentu saja daya jangkau, kecerdasan dan mulusnya mesin politik serta amunisi kampanye alias duit. Untuk yang satu ini, secara kuantitatif nama Alzier ada di posisi teratas. Tapi jangan langsung menganggap bahwa Alzier adalah yang paling menang soal duit. Faktor duit adalah faktor yang berada di ranah abu-abu. Coba tanya ke 7,4 juta penduduk Lampung soal kekayaan. Sulit untuk mendapatkan klasemen pasti siapa yang terkaya. Uang terhitung dengan uang tercitra memang dua hal yang sangat-sangat berbeda.

Contoh, walau mungkin Oedin berada satu lapis di bawah Thomas Riska misalnya, sulit untuk mencari kesepahaman bahwa Thomas lebih kaya dari Oedin. Atau bahkan antara Oedin dengan Alzier sekalipun. Kesimpulannya, semua tokoh yang berani bercita-cita menjadi kepala daerah di Lampung ini adalah orang-orang kaya semua. Established, istilahnya Alzier saat debat kandidat kemarin.

***

Dari berbagai rumus yang ada tadi, nampaknya posisi dua besar ada di nama Oedin dan Alzier. Memang bukan sebuah simpulan yang rigid, tetapi Oedin dan Alzier mampu dengan jitu mencitrakan diri sebagai pemenang di parameter-parameter tadi.

Akan halnya nama Zulkifli jangan dikesampingkan begitu saja. Gotong-royong PAN-PKS sempat terbukti di daerah lain. Selain itu, figur Zulkifli yang sangat luwes, easy going dan sangat santun dalam bersikap terhadap calon-calon lain adalah nilai plus yang sangat berpengaruh. Boleh jadi hanya Zul seorang yang sempat, mampu dan mau bermesraan dengan kesemua kompetitornya. Baik dalam kapasitasnya saat menjadi Bupati Lamsel ataupun saat sudah definitif menjadi calon gubernur. Jika teori floating mass itu berlaku di Pilgub Lampung, Zul adalah figur yang paling berpeluang besar untuk meraih keuntungan.

Dan tak lupa, dengan regulasi yang memungkinkan pilgub berlangsung dua putaran, sulit untuk mengharapkan pilgub hari ini tuntas dalam sekali coblos. 30% adalah angka yang relatif besar bagi kesemua calon. Walau peluang itu masih terbuka, tetapi dua putaran nampaknya masih yang paling logis. Berharap satu putaran memang sangat-sangat baik dan cukup ideal, tetapi dua putaran pun bukan opsi yang amat-sangat buruk. Menarik jika putaran kedua terealisasi. Komposisi siapa lawan siapa akan sangat berpengaruh karena tarung sudah sampai ke final. Hitung-hitungan baru dengan paramater dan faktor baru perlu diulas lagi.
Jadi, pagi ini kita perlu menyoblos untuk merealisasikan hitung-hitungan tadi. Tabik pun..


*) tulisan ini dimuat di Harian LAMPUNG EKSPRES plus edisi 3 September 2008